Kampung tersebut terletak di puncak Gunung Api Purba Nglanggeran dan memegang sejumlah pantangan yang unik. Terdapat larangan bagi kampung ini untuk hanya ditempati oleh tujuh Kepala Keluarga (KK). Pantangan-pantangan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat, yang diwariskan dari nenek moyang mereka.
Meskipun dekat dengan kota Yogyakarta, adat istiadat di kampung keramat ini masih berlaku hingga saat ini. Kampung keramat ini dikenal dengan nama Kampung Pitu atau Kampung Tujuh, yang sesuai dengan namanya, hanya boleh dihuni oleh tujuh KK yang berasal dari satu garis keturunan.
Pelanggaran terhadap pantangan ini dapat berakibat buruk bagi keluarga yang bersangkutan, seperti kecelakaan, sakit, bahkan kematian. Kampung ini terletak di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut dan berada di lereng Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunung Kidul, sekitar 46 km dari Yogyakarta.
Konon, aturan tujuh KK ini bermula dari kisah leluhur Kampung Pitu, yaitu Simbah Iro. Pada masa itu, keraton Yogyakarta mengadakan sayembara untuk mengambil pusaka yang terletak di pohon Kinah Gadung Wulung, yang dianggap sebagai pohon gaib.
Simbah Iro Dikromo bersama enam orang sahabatnya berhasil memenangkan sayembara tersebut dan diberikan hadiah berupa sebidang tanah untuk anak dan keturunannya. Mereka membuat perjanjian bahwa hanya anak-anak dan keturunan mereka yang diperbolehkan menempati tanah tersebut.
Hingga saat ini, kepercayaan tersebut masih dipegang oleh masyarakat Kampung Pitu. Oleh karena itu, jika ada anak dari keturunan tujuh KK yang ingin menikah dan tinggal di Kampung Pitu, ia harus tinggal bersama dengan kepala keluarga yang sudah ada.
Kampung Pitu menyimpan daya tarik yang unik dengan adat istiadat dan kepercayaannya yang kental. Bagi para pengunjung yang tertarik untuk mengunjungi kampung ini, diharapkan menghormati pantangan dan adat istiadat yang berlaku. Selain itu, pesona alam yang indah di sekitar Gunung Api Purba Nglanggeran juga menjadi daya tarik tambahan yang memukau para wisatawan yang datang ke Yogyakarta.