Jawa Trend - Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) secara bertahap dimulai pada tahun 2023. Hal ini akan mengubah sistem pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga masyarakat dapat mendapatkan fasilitas yang sama, tidak lagi berdasarkan kelas 1, 2, dan 3. Uji coba KRIS telah dilakukan di 12 Rumah Sakit (RS) di berbagai daerah. Meskipun masih ada beberapa catatan, KRIS akan segera diimplementasikan.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, "Uji coba sudah selesai dan saat ini implementasinya akan dilakukan pada tahun 2023 ini" (dikutip dari CNBC Indonesia pada Rabu, 14 Juni 2023).
Penerapan KRIS sedang dalam proses monitoring dan evaluasi oleh Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri. Asih menyatakan bahwa penerapan KRIS akan segera dimonitor dan dievaluasi.
Namun, implementasi KRIS masih menunggu perubahan Peraturan Presiden (Perpres) terlebih dahulu. Asih mengatakan, "Kita tunggu terbit perubahan Perpres 82/2018" (dikutip dari CNBC Indonesia).
Sebelumnya, draf revisi Perpres telah ditandatangani oleh Kementerian dan Lembaga terkait sejak awal Februari 2023. Namun, masih ada rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM yang harus dilakukan sebelum revisi tersebut dapat disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, sehingga KRIS dapat dilaksanakan. Asih menyebut bahwa rapat harmonisasi tersebut belum terlaksana dan pihak DJSN masih menunggu rapat tersebut untuk melanjutkan proses implementasi KRIS.
Mengenai iuran, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, tidak ada perubahan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga tahun 2024. Meskipun ada perubahan fasilitas, peserta tetap membayar iuran yang sama.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Arif Budiman, menjelaskan bahwa iuran BPJS Kesehatan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Bagi peserta yang terdaftar sebagai Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang merupakan masyarakat miskin dan tidak mampu, iuran mereka sebesar Rp 42.000 per bulan dan dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kekuatan fiskal masing-masing daerah.
Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) atau pekerja formal seperti Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, POLRI, dan pekerja swasta , besaran iuran mereka adalah 5% dari upah, dengan 4% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja. Batas bawah iuran ini mengacu pada upah minimum kabupaten/kota, sementara batas atasnya adalah Rp 12 juta.
Arif juga menjelaskan bahwa untuk peserta yang termasuk dalam kategori pekerja informal dan tidak memiliki penghasilan tetap, mereka dikategorikan sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (BPBU) atau Bukan Pekerja (BP). Mereka memiliki pilihan untuk memilih besaran iuran yang sesuai dengan keinginan mereka. Kelas 1 memiliki iuran sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp 100.000 per orang per bulan, dan kelas 3 sebesar Rp 35.000 per orang per bulan.
Penting untuk dicatat bahwa peserta PBPU kelas 3 sebenarnya mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar Rp 7.000 per orang per bulan, sehingga total iuran mereka sebesar Rp 42.000.
Arif menambahkan, "Jadi bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2, atau 3. Atau jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), mereka dapat menjadi peserta PBI dengan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah."