Jawa Trend – Coretan “Adili Jokowi” menjamur di berbagai sudut kota Bangkalan, mencerminkan kekecewaan publik terhadap warisan kepemimpinan mantan Presiden Joko Widodo. Vandalisme yang tersebar di tembok-tembok jalan utama hingga gang-gang sempit ini menjadi bentuk protes atas kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama setelah Jokowi masuk nominasi sebagai tokoh terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Tidak hanya sekadar tulisan, grafiti ini membawa pesan kuat yang menggema di ruang publik dan media sosial. Masyarakat Bangkalan, yang selama ini merasakan dampak kebijakan kontroversial era Jokowi, mulai angkat suara.
Dwi Ayu J. Lestari, seorang mahasiswi di Bangkalan, menegaskan bahwa protes ini adalah bentuk ekspresi kekecewaan yang sah dalam sistem demokrasi.
> “Kita harus mempertanyakan mengapa mantan presiden bisa masuk nominasi tokoh terkorup. Ini bukan sekadar tuduhan, tetapi menyangkut hajat hidup banyak orang. Demokrasi memberi hak kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya, baik secara lisan maupun tulisan,” ujar Ayu.
Namun, kritik terhadap Jokowi di Bangkalan bukan tanpa alasan. Kabupaten ini adalah salah satu daerah yang merasakan dampak dari melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat revisi Undang-Undang KPK 2019. Kasus-kasus dugaan korupsi di tingkat daerah semakin sulit ditindak, dan warga mulai kehilangan kepercayaan pada penegakan hukum.
Tidak hanya itu, beberapa kebijakan di era Jokowi, seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), juga berdampak langsung pada masyarakat Madura. Konflik agraria dan eksploitasi sumber daya alam semakin meningkat, sementara kesejahteraan rakyat tetap stagnan.
Munculnya grafiti “Adili Jokowi” di Bangkalan bukan sekadar aksi vandalisme. Ini adalah refleksi dari ketidakpuasan yang semakin membesar, dari Jakarta hingga pelosok daerah. Jika tuntutan publik terus diabaikan, bukan tidak mungkin gelombang protes akan semakin meluas, menuntut pertanggungjawaban atas berbagai kebijakan yang merugikan rakyat.